Berwisata dalam Perkuliahan

Riky Perdana
5 min readDec 16, 2020
Photo by Nick Karvounis on Unsplash

Artikel ini saya tulis sebagai dokumentasi tekstual atas materi pertemuan pertama yang biasa saya sajikan untuk kelas mahasiswa yang saya baru kenal. Apa yang saya tulis dan yang akan Anda baca disini adalah murni opini pribadi saya sebagai tenaga pendidik dan tidak bermaksud untuk mewakili pihak manapun. Harap dibaca perlahan dan dengan suasana santai agar tidak ada mispersepsi diantara kita.

Semua berawal dari pertanyaan mahasiswa tentang metode mengajar di kelas. “Pak, bagiamana cara bapak ngajar?”, pertanyaan yang sepintas relatif sederhana namun fundamental dalam keprofesian saya. Mungkin pula ia mengajukan pertanyaan tersebut sebagai indikasi bahwa mereka menyadari terdapat perbedaan cara, metode, gaya pembawaan atau istilah lainnya yang konotatif dengan preferensi dosen. Mungkin pertanyaan tersebut adalah bentuk upaya mahasiswa mengadapatasikan diri dan kelasnya agar selaras dengan pengajarnya.

Berbekal pertanyaan tersebut saya mulai menyusun pemikiran saya tentang makna ‘kelas’ atau ‘perkuliahan di kelas’. Tentu abstraksi pemikiran tersebut tidak dapat dengan mudah direpresentasikan melalui bahasa yang berpotensi diterjemahkan secara berbeda oleh mahasiswa, apalagi mereka yang belum akrab dengan kosakata ilmiah. Saya yakin cara yang paling mudah (semoga juga tepat) adalah dengan menggunakan analogi, sebuah perumpamaan yang menggunakan 2 konteks yang berbeda namun memiliki keserupaan pola. Analogi yang saya pilih adalah ‘wisata’. Mahasiswa pintar itupun tersenyum miring ketika saya mengeluarkan kata wisata, seolah sebagai respon tak langsung atas kebingungannya, atau bahkan skeptismenya.

“Siapa di kelas ini yang pernah atau bahkan rutin berwisata?” tanya saya. “Saya pak!” setelah kelas sempat hening sejenak. “Boleh tau kemana?”, “Sumbar (Sumatera Barat) pak!”, “Menikmati wisata alamnya ya?”, “Bukan pak, kampung saya dan keluarga memang disana”. “Oalah, itu pulang kampung namanya. Siapa lagi yang lain?”, “Saya pak, pernah ke pulau Jawa untuk melihat wisata sejarah dan budaya, sekalian melihat kampus-kampus ternama yang ada disana”. “Bagus, coba kamu berbagi sedikit tentang apa yang kamu dapat dari perjalanan itu”. Sambil sedikit tergagap si mahasiswa mencoba mengumpulkan memori tentang perjalanannya dan menjelaskan apa yang bisa ia ingat dan pahami, “… intinya mereka punya budaya yang kontras dengan kita pak”. “Saya menunggu kamu untuk ceritakan barang apa saja yang sempat dibeli selama berwisata disana. Tapi kamu malah fokus dengan pengalamannya” pancing saya. “Maaf pak, lupa. Tapi bagi saya yang lebih penting adalah pengalaman perjalanannya”. Dalam hati saya, “inilah kalimat yang sebenarnya saya tunggu”. Raut wajah mahasiswa yang lain menggambarkan kalau mereka masih meraba apa maksud saya menanyakan (setengah interogatif) apa maksudnya membahas tentang wisata, sementara bagi saya ini adalah pesan yang jelas bahwa pelajaran di kelas tak ubahnya seperti pengalaman wisata mahasiswa tadi.

Akhirnya saja mempermudah dengan menjelaskan dengan cara seperti ini:

“Saya mengibaratkan kelas ini sebagai sekelompok rombongan wisata yang telah memesan paket perjalanan ke agensi travel (masukkan nama program studinya disini). Rombongan ini akan mendapatkan trip ke banyak lokasi wisata berbeda selama 16 hari perjalanan kedepan. Daerah wisata yang akan kita kunjungan adalah (masukkan nama mata kuliahnya disini). Setiap kali pertemuan kita akan upayakan untuk mengunjungi sebuah lokasi wisata yang beragam, seperti (masukkan nama topik atau tema pembahasan hari ini). Disini saya yang berdiri di hadapan kalian akan mejadi pemandu wisata kalian sampai paket perjalanannya selesai (masukkan nama dosennya disini). Biar kita tidak bingung dengan lokasi wisata yang dikunjungi, silahkan masing-masing membeli buku panduan wisata di toko buku terdekat atau bila tidak mampu atau malas cari sendiri seilahkan minta dari saya, gratis (masukkan nama buku teks mata kuliahnya disini).”

“Baik, bila rombongan telah ready dengan buku panduan wisata (buku kuliah), kamera dan video recorder (alat tulis dan buku catatan) maka kita semua turun dari bus dan menjelajah lokasi wisatanya. Anda semua akan melihat pemandangan (pemaparan dosen), memfoto dan merekam pemandangannya (menulis catatan mata kuliah), ngobrol dengan teman se-rombongan atau wisatawan lainnya (tanya jawab dan diskusi kelompok). Seorang tour guide akan membebaskan Anda untuk menikmati perjalanan dengan cara yang Anda suka atau cara yang lebih cocok dengan Anda. Seorang tour guid tidak akan memaksakan Anda untuk terlibat aktif dalam perjalanan bila Anda memang tidak suka, meski Anda telah membayar penuh paket perjalanannya (mungkin bagi mahasiswa itu SPP masih relatif murah).”

“Ada wisatawan yang aktif mencermati setiap detik perjalanan, ada pula yang melamun ke arah bus (sibuk dengan hal selain mata kuliah). Ada yang aktif memfoto dan bertukar pikiran tentang lokasi wisata (berdiskusi dan menyampaikan pendapat). Dan ada pula yang memilih untuk tidak keluar dari bus meski telah berganti lokasi wisata (tidak hadir di kelas dengan alasan yang tidak jelas). Meski demikian tour guide yang baik akan senantiasa memandu rombongan ini sebaik mungkin hingga paket perjalanannya habis.”

“Pada akhir perjalanan, tour guide akan membagikan kuesioner untuk melihat seberapa tingkat keterlibatan wisatawan selama perjalanan (UAS, kalian tahu ini singkatan dari apa). Mahasiwa yang sangat menikmati perjalanan selama ini akan menemui sedikit sekali rintangan dalam mengisi kuesioner ini. Mahasiswa yang keterlibatannya kurang akan menyesal dan berdoa seandainya saja kuesioner ini tidak dimasukkan dalam paket perjalanan. Alih-alih mengisi kuesioner dengan baik, ia malah menceritakan apa isi di dalam bus (contoh: maaf pak, saya gak begitu mengikuti kemarin).”

“Ada banyak ragam wisatawan yang harus dilayani oleh seorang pemandu wisata, namun membuat wisatawan tertarik dan terlibat dalam perjalanan bukanlah tanggungjawab si pemandu, melainkan wisatawan itu sendiri. Lalu bagaimana dengan wisatawan yang berhasil mengisi kuesioner dengan baik? Selamat, mereka adalah wisatawan yang berhasil menikmati perjalanan dengan sungguh-sungguh dan siap untuk mengambil paket perjalanan lanjutan yang setingkat lebih rumit dari perjalanan yang telah dilalui. Bagaimana dengan wisatawan yang gagal dalam paket perjalanan ini? Berarti ia harus mengulang perjalanan di semester depan dengan rombongan yang baru dan (semoga) semangat yang baru pula”.

Perumpamaan diatas saya buat untuk memotivasi seluruh mahasiswa/i bahwa perkuliahan bukanlah momok yang harus ditakuti, dan bukan pula beban yang harus dilalui sementara menjelang nilai keluar dan siap dibuang dari otak setelah selesai. Perkuliahan adalah wisata intelektual yang bisa mengantarkan Anda dari kondisi ketidaktahuan hingga mengenalinya. Perkuliahan tidak untuk membuat Anda menjadi seorang expert pada mata kuliah tersebut, misi seorang dosen cukup untuk membuat Anda berminat untuk mengkaji secara mandiri tentang sebuah topik, hingga Anda menyukainya dan secara tidak sadar Anda sudah mengeksplorasi sudut pengetahuan yang bahkan kami dosen belum menjamahnya. Tidak semua orang jenius, dan kita tidak butuh. Yang ingin ditemukan dosen adalah seorang mahasiswa/i yang tergugah jiwanya untuk menyukai suatu bidang ilmu dan akhirnya secara laten dan seiring wakt menjadi expert di bidang tersebut.

Sekian tulisan saya, selamat berwisata!

--

--