Filsafat dibalik Revolusi Moral

Riky Perdana
3 min readJan 31, 2021
Photo by Patrick Perkins on Unsplash

Banyak ahli yang mendefinisikan akhlak dalam kalimat yang beragam, namun kesemuanya memiliki keseragaman pada pemahaman bahwa akhlak adalah sikap dan perilaku yang tercermin pada perkataan, pilihan, dan perbuatan individu secara intuitif tanpa pengaruh eksternal. Banyak ahli meyakini bahwa akhlak yang dimaksud disini bukanlah properti biologis yang muncul pada diri manusia ketika dilahirkan melainkan terbentuk dari proses interaksi sosial dari waktu ke waktu hingga secara kumulatif membangun pengetahuan dan kepercayaan tentang apa yang baik dan yang buruk.

Menurut filsafat, diantara ketiga lembaga kebenaran seperti logika, etika, dan estetika, etika lah yang menjadi penentu suatu hal tersebut baik atau buruk.Wujud konkrit dari etika sebagai lembaga kebenaran ini dapat mengambil bentuk agama, budaya atau sistem kepercayan lainnya. Etika dalam penentuan hal yang baik dan buruk menggunakan kepercayaan sebagai instrumennya. Karena setiap individu memiliki kebebasan asasi dalam memilih apa yang ingin ia percaya maka mereka juga bebas untuk memilih lembaga mana yang akan mereka pegang sebagai kompas kebenaran.

Berbeda dengan lembaga kebenaran logika yang memahami bahwa kebenaran adalah tunggal dan objektif, dan berbeda pula dengan lembaga kebenaran estetika yang kebenarannya adalah majemuk dan subjektif hingga level individu. Domain sebuah lembaga etika berlaku secara komunal pada kelompok individu yang meyakini sebuah sistem kepercayaan. Hal ini tercermin dari masyarakat yang terkelompok dalam beberapa agama (seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan lainnya), atau warga negara di dunia yang terkelompok dalam sebuah negara dengan masing-masing doktrin (seperti demokrasi, komunisme, sosialis, dan lainnya).

Setiap individu dapat memilih dan memeluk suatau sistem kepercayaan dengan alasan ataupun motif masing-masing. Lantas penulis pun merenung sejenak, kalaulah memang setiap individu bebas untuk memilih dan memeluk apa saja yang ingin dia percayai sebagai acuan kebenaran moril, maka apakah yang memilih kepercayaan tersebut mengetahui apakah yang ia percaya tersebut adalah penentu moril yang sempurna?

Buku Jared Diamond yang mengangkat dokumenter dan kritik tentang jatuh bangunnya peradaban mengindikasikan bahwa lembaga moral seperti agama, kebudayaan, hingga bahasa juga tidak luput dari seleksi alamiah. Lembaga penentu moral ini terus diuji oleh waktu, peradaban, pengetahuan, dan teknologi. Bangsa Inca yang menurut zamannya sudah tergolong advanced dengan seni dan astronominya, mengandalkan mistisisme seperti tumbal manusia untuk memohon kesuburan. Bangsa Mesir kuno yang sangat advanced dalam hal aksara dan arsitektur turut diiringi mistisisme penyembahan dewa dan penumbalan manusia untuk melayani jasad Fir’aun. Sistem perbudakan bangsa kolonial yang akhirnya turut runtuh karena kesadaran masyarakat tentang kesetaraan dan hak asasi manusia. Hingga kepercayaan atas superioritas ras Arya yang turut runtuh bersama rezim Nazi.

Pengamatan seperti ini membawa penulis pada pemahaman dan kepercayaan bahwa kita yang berada di generasi milenium ini juga sedang berada dalam proses evolusi(perubahan lambat laun) tersebut. Seluruh sistem kepercayaan yang sedang kita pegang sekarang — agama atau budaya apapun itu — sedang secara konstan ditantang oleh perubahan zaman, ilmu, dan teknologi.

Penulis juga percaya bahwa kita selaku individu adalah orang menempatkan kepercayaan secara dinamis. Banyak orang yang setelah lama memeluk kepercayaan tertentu akhirnya pindah kepada kepercayaan lain yang sesuai dengan yang nilai-nilai yang dia pegang. Atau politikus yang awalnya mempercayai demokrasi kemudian beralih mempercayai komunisme atau mempercayai kekhilafahan. Secara agregat dan tidak langsung kepercayaan tersebut juga turut dibentuk oleh orang-orang yang mempercayainya.

Akhir-akhir ini sering didengungkan jargon revolusi(perubahan cepat) mental dan revolusi akhlak, yang meski dipopulerkan oleh tokoh-tokoh publik, bukanlah merupakan paten yang asosiasikan dengan pihak manapun. Jargon tersebut lebih seperti pengingat dan penggesa kita sebagai masyarakat untuk kembali mengamalkan nilai-nilai luhur yang dituntunkan oleh masing-masing kepercayaan yang dianut. Meski demikian, banyak pula orang yang menjadikan apa yang ia percayai sebagai bagian dari identitas semata tanpa mengamalkan apa yang ia percayai, dengan kata lain ia tidak sungguh percaya.

Apapun nasib kita semua kedepan, tergantung dari apa yang kita usahakan sekarang. Meski segelintir orang memiliki status sosial dan kedudukan politis yang lebih tinggi dari kita semua, tidak lantas dapat mendikte kita untuk memilih apa hal yang harus dipercaya atau tidak. Kelak kita akan melihat apa hasil revolusi moral kita dan momen tersebut akan menjadi bagian dari sejarah — suka maupun tidak — kita sedang berada dalam evolusi moral.

Penulis menulis artikel ini sebagai upaya penulis untuk mempelajari fenomena revolusi moral serta mengekspresikan apa yang peneliti pahami terkait hal ini. Semoga Allah S.W.T. senantiasa memandu penulis dan pembaca untuk berfikir di arah yang lurus.

--

--